Uncategorized

Atap

“Bagaimana kalau suatu hari nanti, kita berlibur ke laut, lalu kita mengarungi laut dengan sebuah perahu. Tanpa hiruk pikuk, hanya laut, perahu kita, dan rasi bintang.”

Aku masih ingat betul ucapanmu saat itu. Bagaimana kita dahulu, bertiga, berbincang pada gelap malam, berbicara soal bentuk awan, warna langit, dan rasi bintang. Bagaimana kubagikan setiap mimpi-mimpiku kepadamu, bagaimana kau selalu yakin aku mampu menggapainya. Bagaimana kita tertawa bersama bertiga bahkan berempat, mendengar tiap kisah yang kita bagi bersama.

Aku masih ingat, saat suatu malam kau usap rambutku, kau kecup keningku dan berkata bahwa doamu akan selalu menyertaiku. Bagaimana dari seluruh alasanku untuk bersikap kuat harus hancur. Bagaimana aku begitu kecewa pada diriku untuk belum mampu membahagiakanmu.

Aku masih ingat, pada tiap-tiap lampu mobil yang menembus tirai, tiap klakson yang kau bunyikan. Bagaimana kami begitu semangat membukakan pintu dan menyambut kedatanganmu. Bagaimana kau selalu mengajarkanku untuk menyediakan segelas air putih untukmu.

Aku masih ingat, tiap lantunan lagu yang kau senandungkan untukku, tuk redakan tangisku bahkan untuk mengantarkanku ke alam mimpi. Kau mengayunku dan mengusap rambutku.

Aku masih ingat, untuk tiap mimpi dan tiap waktu yang kubagi bersamamu. Aku masih ingat tangisan pertamamu ketika kau harus melepaskanku hidup jauh dari pijakan rumahku.

Aku masih ingat, aku masih ingat.

Bagaimana waktu menyeret kita pada detik yang begitu asing? Bagaimana takdir membawa kita pada jarak yang tak mampu tergapai? Hingga kini yang ada hanyalah tiap amarah, tiap kecewa, yang kau dan aku sama-sama simpan. Yang kau dan aku sama-sama tak utarakan.

Bagaimana kita terjebak pada sebuah lingkaran tanpa jalan keluar? Kemana hari-hari yang dahulu kita bagi bersama? Kemana kau buang harga dari sebuah rumah? Kemana kau bawa pergi tiap arti kata pulang?

Kemana kau dan aku pergi hingga kita sama-sama tak mampu untuk kembali?

Rumahku hancur tapi aku harus tetap berdiri. Hatiku hancur tetapi aku harus tetap beranjak pergi. Dan kini, bidadari kecilmu harus berjalan dengan kedua sayapnya yang patah.

“Tidurlah, tidur, bidadari kecilku…” dari kejauhan masa lalu aku dengar sayup-sayup senandungmu dan kini aku hanya ingin terpejam dan tidur. Dan berharap semua ini hanya mimpi yang harus kulalui.

#30DaysWritingChallenge